5 Prinsip Masyarakat Islam

Sebagai seorang muslim sudah seyogjanya kita meyakini bahwa seluruh ajaran Islam sangat lah konkret, bukan sekedar konsep, dan jelas mana yang haq dan yang batil sehingga dapat memberikan solusi berbagai kehidupan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.

Islam merupakan agama yang universal, rahmat bagi seluruh alam, dan relevan di segala zaman. Itu artinya, konsep-konsep Islam dapat digunakan hingga kapan pun dan oleh siapa pun.

Islam selalu mengajak kepada kebaikan yang hakiki. sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’aala dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 177 :

”Bukanlah kebajikan itu, sekedar menghadapkan wajahmu ke arah timur atau barat, tapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, dan mendermakan harta yang dicintainya kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta, serta (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan solat dan mengeluarkan zakat. Dan orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesulitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqarah : 177).

Wahbah Az-Zuhayli menyebutkan sebab turunnya ayat ini adalah ketika ada orang yang bertanya tentang al-birr ’kebajikan’ yang hakiki, karna orang Yahudi ketika beribadah menghadap ke barat dan Nasrani ke timur, sehingga terjadi perdebatan dan perselisihan yang sangat alot. Dan perselisihan ini merambah kepada kaum muslimin dan membuat kebimbangan  ke mana menghadapnya ibadah. Maka, maka Allah menurunkan ayat ini dan menjelaskan akan makna al-birr yang terbaik bukanlah hanya sekedar ke mana menghadapkan wajah dalam beribadah.

Sayyid Qutb menafsirkan bahwa : ayat ini menjelaskan konsep bermasyarakat Islam haruslah didasari kebajikan yang hakiki.

Prinsip pertama adalah Iman, setiap anggota masyarakat Islami haruslah mempunyai tashawwur, sudut pandang dan ideologi Islam yang sempurna, sehingga dalam kehidupan sehari-hari menjadikan keimanan sebagai tolok ukurnya.

Iman yang menjadi titik perubahan dalam kehidupan manusia dari menyembah berbagai kekuatan, berbagai benda menuju peribadatan hanya kepada Allah, sehingga memerdekakan diri dari penghambaan kepada siapapun selain-Nya, dan menyamakan dengan manusia lainnya. Maka seharusnya seorang muslim mendahulukan keimanan kepada Allah dari pada kebutuhan duniawi apalagi terkait jabatan, tahta maupun harta yang tak seberapa dari manusia namun rela mengorbankan keimanannya dalam membela agama Islam tercinta ini.

Prinsip kedua adalah menegakkan Shalat. Sebagai salah satu perintah Allah, shalat merupakan ibadah utama dalam Islam. Bahkan dalam beberapa riwayat hadits nabi sallallahu alaihi wassalam menjelaskan bahwa shalatlah yang membedakan antara muslim dengan kafir, dan amal pertama yang akan di hisab ‘dihitung’ oleh Allah di hari kiamat nanti. Sehingga shalat merupakan amal utama yang sangat berpengaruh dengan kepribadian individu.

Tidak ada alasan karena kondisi sulit yang dihadapi manusia lalu ia meninggalkan shalat. Karena telah diberikan rukhshah (keringanan) baginya dalam melaksanakan shalatnya. Bagi seorang musafir diberikan keringanan mengqashar, bagi yang sakit bisa melakukan semampunya; dengan berdiri, duduk, tidur miring, tidur terlentang, ataupun dengan isyarat. Orang yang tidak mendapatkan air boleh tayammum, orang yang sakit juga boleh bertayamum. Jadi tidak logis jikalau ada orang yang dengan segala keringanan dan kemudahan yang ada, mengatakan tidak mampu bahkan tidak sempat melaksanakan perintah Allah ini.

Syaikh Ali Muhammad al-Jarjawy (salah satu anggota ulama al-Azhar) menjelaskan diantara hikmah mendirikan shalat adalah Tumbuhnya rasa ketenangan dan ketentraman dalam hati. Sehingga, tidak gelisah dan shock ketika tertimpa musibah, serta tidak terhalang kebaikan yang akan datang kepadanya.

Prinsip ketiga adalah menjadikan zakat, infaq dan shodaqoh sebagai Kekuatan Masyarakat Islam.  Akan menjadi salah satu upaya menjaga kehormatan keluarga dan masyarakat muslim dari kefakiran hingga kekufuran ketika pengelolaan zakat, Infaq dan Shodaqoh secara produktif dan berkesinambungan.

Islam selalu berusaha membebaskan manusia dari diperbudak oleh hawa nafsu, khususnya diperbudak kecintaan berlebihan kepada harta. Ketika hal tersebut menjadi karakternya maka seseorang itu dengan mudah dan ringan akan senantiasa membantu orang disekitarnya dari kekurangan. Membantu kerabat terdekatnya, anak yatim, orang-orang miskin, Ibnu sabil, para peminta-minta dan orang-orang yang membutuhkan. Solidaritas sosial, peduli dengan sesama diutamakan daripada hanya mementingkan kebahagiaan pribadinya ataupun golongannya.

Prinsip keempat adalah komitmen terhadap Janji. Menepati janji merupakan salah satu upaya mewujudkan iklim kepercayaan dan ketentraman dalam bermasyarakat.  Janji memang ringan diucapkan, namun berat untuk ditunaikan.

Betapa banyak orangtua yang mudah mengobral janji kepada anaknya, pejabat kepada rakyatnya terlebih ketika kampanye, pemimpin-pemimpin masyarakat kepada rakyatnya, atau bahkan antar warga masyrakat itu sendiri, tapi tak pernah menunaikannya. Betapa banyak orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu, namun  tak pernah menepatinya. Dan betapa banyak pula orang yang berhutang namun menyelisihi janjinya. Bahkan meminta udzur pun tidak.

Bukankah, Rasulullah telah banyak memberikan teladan, dalam hal ini termasuk larangan keras menciderai janji dengan orang-orang kafir. Apalagi dengan umat muslim. Manusia dalam hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan dengan orang lain. Maka setiap kali seorang itu mulia dalam hubungannya dengan manusia dan terpercaya dalam perga pergaulannya bersama mereka, maka akan menjadi tinggi kedudukannya dan akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara seseorang tidak akan bisa meraih predikat orang yang baik dan mulia pergaulannya, kecuali jika ia menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Dan di antara akhlak terpuji yang terdepan adalah menepati janji.

Prinsip kelima adalah sabar dalam Berbagai situasi dan kondisi rerta Memberdayakan potensi anggota masyarakat muslim baik dengan menanamkan kepercayaan diri (Caracter Building) yakni karakter yang memiliki konsep diri yang baik. Karakter yang mampu mengendalikan hawa nafsunya serta karakter tauhid sebagaimana pendidikan karakter yang diajarkan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wassalam.

Bahkan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wassalam baru mendirikan suatu komunitas masyarakat muslim setelah beliau mampu mendidik generasi muhajirin dan Anshar yang berkarakter di Madinah bahkan memotivasi sahabat untuk selalu bangkit, bangun dari segala keterpurukan dan ujian kehidupan.

syeikh Yusuf Qardhawy dalam bukunya as-Shabru fil Qur’an membagi sabar menjadi enam bentuk. Yaitu [1] Sabar ketika menerima cobaan hidup, baik cobaan fisik ataupun non fisik [2] Sabar dari keinginan hawa nafsu [3] Sabar dalam ta’at kepada Allah [4] Sabar dalam berdakwah, [5]. Sabar dalam perang, Dan [6]. Sabar dalam pergaulan, baik antar individu, keluarga, maupun masyarakat.

Ketidaksabaran dengan segala bentuknya adalah sifat tercela. Orang dihinggapi sifat ini, bila menghadapi hambatan dan mengalami kegagalan akan mudah goyah, berputus asa dan mundur dari medan perjuangan. Sebaliknya jikalau mendapatkan keberhasilan juga akan cepat lupa diri. Semoga kita selalu dapat menjaga diri kita untuyk selalu bersabar dan menjadikan iman sebagai landasan utama kehidupan ini, amin….

Allah berfirman :

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ. 

Artinya :

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. [Qs. Al-A’raf : 96]

 Semoga kita semua selalu dalam keimanan dan berada dalam barisan orang-orang sholih, barisan orang yang selalu menebar kebaikan di manapun, kapanpun, oleh dan untuk siapapun serta dalam kondisi apapun.

 رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً  إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ. باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ ِبماَ فِيْهِ مِنَ اْلآيَةِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلبَصِيْرُ

Tinggalkan komentar